Film G30 S PKI, Fakta atau sebuah rekayasa sejarah?
Tepat hari ini 30 September 44 tahun yang lalu Indonesia diguncang
suatu tragedi yang sangat memilukan sejarah dan catatan perjalanan
bangsa. Para Jendral dan Petinggi Angkatan Darat saat itu dibunuh secara
sadis dan tidak berperikemanusiaan.
Hingga akhir kekuasaan rezim Soeharto semua orang percaya bahwa semua
itu adalah perbuatan yang diotaki oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan di pelajaran sejarah pun di catatkan kronologi menurut kepentingan
penguasa saat itu. Namun ketika orde reformasi dan tumbangnya rezim
orde baru sepeninggal Soeharto dimana kebebasan berbicara terbuka
lebar mulailah terkuak satu persatu kejanggalan skenario sejarah yang
selama ini dicatatkan.
Dalam buku Sejarah kelas 3 kurikulum 1994 ditulis bahwa PKI yang
menjadi dalang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dimana peristiwa itu
mengigatkan kita bahwa PKI selalu berusaha mencari kesempatan untuk
melakukan Kudeta (perebutan kekuasaan).
Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa Aidit menugaskan Kamaruzaman
alias Syam sebagai Ketua Biro Khusus PKI untuk merancang dan
mempersiapkan perebutan kekuasaan. Kemudian biro ini melakukan
pembinaan terhadap perwira-perwira ABRI diantaranya adalah Brigjen
Supardjo dan Letkol Untung dari TNI AD, Kolonel Sunardi dari TNI AL dan
Letkol Anwas dari Kepolisian. PKI menyadari bahhwa hambatan untuk
mencapai tujuannya adalah TNI AD. Oleh karena itu pada tanggal 30
September 1965 sebelum subuh tanggal 1 Oktober 1965 upaya penculikan dan
pembunuhan terhadap para perwira tinggi TNI AD dilancarkan. Di buku
tersebut juga dipaparkan bahwa penumpasan pemberontakan G30S/PKI
dilakukan oleh ABRI dan rakyat yang setia kepada Pancasila. Mayjen
Soeharto sebagai Panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat)
mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kembali keadaan.
Pengambilan jenasah para Jenderal AD di Lubang Buaya
Kebutuhan akan rekonstruksi sejarah, yang terasa berkenaan dengan
tumbuhnya kebingungan masyarakat awam mengenai sejarah G30S/PKI seperti
yang telah mencuat melalui media massa. Ironisnya hampir seluruh
informasi baru diekspos oleh media tersebut bertolak belakang dengan
buku SMP kelas 3 1994. Pemaparan baru fakta dan opini dibalik G30S/PKI
itu pada pokoknya ingin mengubah peran dan posisi Jendral Soeharto
terhadap G30S/PKI yakni pemberantas yang cekatan dan jitu menjadi
terlibat atau tersangka.
Adapun pemaparan baru tentang fakta dan opini di balik G30S/PKI itu,
ingin merubah total peran dan posisi Soeharto terhadap G30S/PKI yakni
sebagai sebagai pemberantas yang cekatan dan jitu mejadi terlibat atau
tersangka.
Fakta-fakta tersebut antara lain:
1. Pengakuan Kol. A. Latief (gembong PKI) bahwa dua kali ia
memberitahukan kepada Soeharto tentang rencana penindakan terhadap
sejumlah jendral. Dalam bahasa laten menghadapkan Dewan Jendral kepada
Presiden. Namun Soeharto yang pada saat itu Panglima Kostrad tidak
mengambil inisiatif melapor kepada atasannya. Dia diam saja dan hanya
manggut-manggut mendengar laporan itu. Latief menginformasikan rencana
penindakan terhadap pera Jendral itu dua hari dan enam sebelum hari H.
2. Fakta bahwa sebagai perwira tinggi dengan fungsi pemandu di bawah
Pangab Jendral A. Yani, Soeharto tidak termasuk sasaran G30S/PKI. Ini
bisa dipertanyakan, mengingat strategisnya posisi Kostrad apabila Negara
dalam keadaan bahaya. Kalau betul Soeharto tidak berada dalam Inner
Cycle gerakan, kemungkinan besar ia termasuk dalam daftar korban yang
dihabisi di malam tersebut.
3. Hubungan emosional cukup dan amat dekat Soeharto dengan para pelaku
PKI yakni Untung dan Latief sedangkan Sjam termasuk kolega Soeharto
di tahun-tahun sesudah Proklamasi.
4. Menurut penuturan Mayjen (Purn) Mursjid, 30 September malam
menjelang 1 Oktober 1965 itu pasukan Yon 530/Brawijaya berada di sekitar
Monas. Padahal tugas panggilan dari Pangkostrad Mayjen Soeharto
adalah untuk defile 5 Oktober.
5. Mayjen (Purn) Suharjo, mantan Pangdam Mulawarman yang sama-sama
dalam tahanan dengan Mayor (Purn) Soekardi, eks Wadan Yon 530/Brawijaya
menceritakan bahwa surat perintah dari Pangkostrad kepada DanYon 530
itu dalam rangka penugasan yang disinggung Jendral Mursjid tadi,
ternyata kemudian dibeli oleh Soeharto seharga Rp 20 juta.
Ratna Sari Dewi (mantan istri Bung Karo) pernah menyatakan: ?Sejak
pagi 1 Oktober Soeharto sudah propaganda bahwa pelakunya PKI sepertinya
dia sudah tahu semua seakan telah direncanakan. Yang menjadi
pertanyaan, bagaimana ia bisa menguasai Indonesia? Harus diingat system
komunikasi saat itu belum seperti sekarang. Teleponnya belum lancar
dan tak ada yang punya telepon genggam. Bagaimana dia bisa memecahkan
masalah yang terjadi pada malam 30 September dan segera bertindak
begitu cepat? Kalau belum tahu rencana G30S/PKI ia tidak mungkin bisa
melakukannya.?
Dari kutipan buku Sejarah SMP kelas 3 tersebut diatas dengan pengakuan
Ratna Sari Dewi kita dapat menarik menarik kesimpulan bahwa Soeharto
sudah mengetahui akan terjadi gerakan 30 September yang dilakukan PKI.
Hal ini dibuktikan, mengapa begitu cepat dia mengambil keputusan dan
mengumumkan ke seluruh rakyat Indonesia melalui RRI, bahwa telah terjadi
peristiwa penculikan oleh gerakan kontra Revolusioner yang menamakan
dirinya G30S padahal, alat komunikasi pada saat itu belum secanggih
sekarang.
Fakta-fakta lain yang mampu mengungkap kebenaran ini tidak hanya
sebatas fakta internal. Lebih dari itu kebenaran yang mulai terkuak
mengejutkan masyarakat awam adalah ternayata Soeharto juga mempunyai
hubungan dengan CIA. Hal ini terbukti dengan adanya satu kompi batalyon
454 Diponegoro Jawa Tengah dan satu kompi batalyon 530 Brawijaya Jawa
Timur, yang secara terselubung digunakan Soeharto sebagai penggerak.
Soeharto disebut-sebut terlibat dalam peristiwa tragis itu. Oleh saksi
dan sejumlah pelaku sejarah , serta sejarawan, dikatakan Soeharto
mengetahui rencana penculikan para jenderal tapi tidak berusaha
mencegahnya. Itulah salah satu titik kontroversi G30S. Buku yang terbit
pertama kali pada 1999 ini menyebutkan ada enam titik kontroversi
(hlm. 6-9).
Pertama, siapa dalang gerakan 1 Oktober 1965?
Kedua, mengapa Mayjen Soeharto menghalangi Mayjen Pranoto Reksosamodro
menghadap Presiden Soekarno untuk didaulat menjadi Men/Pangad, jabatan
yang ditinggalkan Letjen Ahmad Yani?
Ketiga, mengapa Soeharto seolah-olah mengulur waktu untuk merebut Gedung RRI dari tangan G30S?
Keempat, mengapa penggalian mayat para jenderal baru dilaksanakan pada 4
Oktober 1965, padahal lokasinya sudah diketahui pada 3 Oktober?
Kelima, adakah konspirasi antara Letkol Untung Syamsuri (pemimpin
lapangan), Kolonel Latief, Sjam Kamaruzzaman, dan Mayjen Soeharto?
Keenam, mengapa Ketua Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit, dibunuh
ketika dia tertangkap di Boyolali, padahal kesaksiannya di pengadilan
akan sangat membantu untuk menyingkap tabir G30S yang sebenarnya? Yang
menarik pada buku ini adalah pengungkapan pertemuan Kolonel Latief dan
Soeharto di RSAD Gatot Soebroto beberapa jam menjelang penculikan para
jenderal. Waktu itu anak Soeharto yang berusia tiga tahun, Tommy,
ketumpahan sup panas dan dilarikan ke rumah sakit itu. Di sana pada
sekitar pukul 21.00, Latief menemui Soeharto. Menurut pengakuan
Soeharto, dalam wawancara dengan surat kabar Del Spiegel Jerman Barat
pada Juni 1970, kedatangan Latief untuk membunuhnya. “Tapi, nampaknya ia
tidak melaksanakan berhubung kekhawatirannya melakukan di tempat
umum,” ujar Soeharto. Pengakuan Soeharto itu bertentangan dengan
jawaban yang diberikan kepada penulis bernama Brachman pada 1968, yang
mengatakan bahwa Kolonel Latief datang untuk menanyakan kesehatan
anaknya. “Saya terharu atas keprihatinannya,” kata Soeharto (hlm 18).
Sementara itu, Latief sendiri mengatakan: “Yang sebenarnya saya pada
malam itu di samping memang menengok putranda yang sedang terkena
musibah itu, sekaligus saya melaporkan akan diadakannya gerakan pada
esok pagi harinya untuk menggagalkan Coup d”Etat dari Dewan Jenderal,
di mana beliau sudah tahu sebelumnya.” (hlm 20). Buku ini juga
mengungkap kesaksian Boengkoes, yang muncul di media massa setelah
Soeharto lengser.
Boengkoes adalah serma pelaku langsung G30S. Saat
gerakan berlangsung ia mendapat tugas menangkap Mayjen MT Haryono.
Kesaksian Boengkoes dalam buku ini merupakan kompilasi dari wawancara
sejumlah media massa, setelah Boengkoes dibebaskan dari LP Cipinang
pada 25 Maret 1999. Salah satu poin kesaksiannya adalah bahwa para
jenderal itu tidak disiksa terlebih dahulu sebelum ditembak. Ini sangat
berbeda dengan yang digembar-gemborkan Orde Baru bahwa para jenderal
itu digambarkan disiksa bahkan dikatakan disayat-sayat, apalagi *****
dipotong. “Para jenderal itu dipapah sampai bibir sumur baru kemudian
ditembak,” ujarnya. Kesaksian Boengkoes mempertegas hasil Selain itu,
kata Boengkoes, “Dan tidak benar kalau ada pesta dan nyanyi-nyanyi
(seperti film tayangan
).
Suasana saat itu benar-benar sepi….” Masih ada sejumlah kesaksian pelaku sejarah mengenai G30S, yang menarik untuk
diketahui sebagai perbandingan dengan sejarah G30S versi Orde Baru yang tidak akurat atau sengaja dipalsukan.